“Masa’ sih ada yang sudah naik haji, kalau gak dipanggil pakai “haji” kagak noleh-boleh”
Satu hal yang harus sangat dijaga dalam ibadah haji dan umrah adalah keikhlasan, yaitu hanya mengharap pahala dari Allah Ta’ala semata, bukan karena riya’, bukan karena pujian manusia dan bukan karena “gengsi-gengsian”. Sebaiknya sebelum naik haji, kita hindari terlalu banyak menceritakan berita akan naik haji ke mana-mana, mengunggah foto-foto latihan saat manasik di HP dan media sosial. Apalagi ada beberapa masyarakat kita yang sebelum naik haji mengadakan acara “selamatan” besar-besaran yang tidak bijaksananya adalah acaranya dipaksakan, dana untuk acara hampir sama dengan dana berangkat haji. Kita mestinya harus banyak-banyak bermuhasabah, karena ibadah haji adalah ibadah yang agung dan membutuhkan banyak pengorbanan baik fisik dan harta serta kesempatan melaksanakannya sangat tebatas.
Kita juga perlu muhasabah, agar ibadah haji kita bukan sekedar haji “formalitas”. Di beberapa daerah ada cibiran dari masyarakat, sudah kaya, anak sukses semua, usia sudah mulai lanjut, kok tidak naik haji. Ia akan mendapatkan cibiran dari masyarakat seperti itu. Atau bisa juga karena gengsi-gengsian, naik haji disangka adalah simbol puncak keberhasilan seseorang. Jika naik haji berarti dia sudah sukses, kaya, anak berhasil dan sudah punya harta yang banyak.
Hendaknya kita mengikhlaskan niat ibadah haji hanya kepada Allah saja.
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Yang terbaik adalah kita berusaha menyembunyikan amal ibadah haji kita, hanya memberitahu kepada yang berkepentingan saja, misalnya keluarga dan teman-teman di tempat kerja. Bukan “obral” ke sana dan ke sini. Allah mencintai hamba-Nya yang menyembunyikan amalnya dan mencintai hamba yang hanya mengharap ridha Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.”[1]
Permasalahan niat adalah permasalahan yang cukup berat, memang agak susah untuk benar-benar ikhlas. Bisa jadi niat awal ikhlas akan tetapi di tengah-tengah bisa jadi riya’ atau tiba-tiba ada pujian manusia yang datang padahal ia tidak harapkan, kemudian ia menjadi tidak ikhlas.
Karenanya seorang ulama, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي ، إِنَّهَا تَقَلَّبُ عَلَيَّ
“ Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik”[2]
Catatan terhadap gelar “haji”
Ada kebiasaan di masyarakat kita yang sudah menjadi tradisi turun-temurun, yaitu memberikan gelar haji kepada mereka yang sudah naik haji. Sebaiknya gelar ini tidak digunakan, karena jika tidak disematkan lebih mengantarkan kepada puncak keikhlasan.
Berikut beberapa catatan mengenai “gelar haji”
1. Sebaiknya tidak menggunakan gelar haji untuk lebih menjaga keikhlasan. Tidak perlu orang lain tahu bahwa kita sudah naik haji. Bahkan ada beberapa orang (semoga Allah mengikhlaskan niat mereka), tidak mau dan bahkan marah jika tidak dipanggil dengan gelar haji atau dalam namanya tidak ada singkatah “H” atau “Hj” yang berarti haji dan hajah, misalnya Haji Fulan dan Hajah Fulanah.
2. Gelar haji pun tidak ada contoh dan tuntunananya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, serta para imam dan ulama-ulama sebelum kita.
3. Ibadah haji adalah ibadah yang agung, butuh pengorbanan harta yang tidak sedikit dan pengorbanan fisik. Kesempatannya juga cukup langka. Hendaknya amalan tersebut diikhlaskan kepada Allah semata. Perlu kita ingat bahwa orang yang pertama kali dimasukkan neraka adalah orang yang niatnya tidak ikhlas, beribadah karena riya dan pujian manusia. Karena ini merupakan syirik yaitu menyekutukan Allah dalam niat ibadah.
Ingatlah sebagaimana dalam hadits, di akhirat kelak akan dipanggil tiga orang yang amalnya sangat banyak, pertama sering membaca Al-Quran, kedua sering berjihad dan ketiga sering berinfak di jalan Allah. Akan tetapi mereka beribadah ternyata karena pujian dan dan riya’ kepada manusia. Maka mereka adalah orang yang pertama kali masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أُولَئِكَ الثَّلَاثَةُ أَوَّلُ خَلْقِ اللَّهِ تُسَعَّرُ بِهِمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
‘Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah yang pertama kali disiksa dengan api neraka di hari kiamat.”[3]
4. Lebih baik kita mengikhlaskan niat kita. Karena jika sampai rusak maka pahalanya akan sia-sia dan terhapus, padahal pengorbanan sudah begitu banyak.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً
“Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)
5. Yang paling penting dari ibadah haji adalah kelanjutan setelahnya, bukan gelar haji setelahnya. Selepas naik haji, hendaknya ibadah kita tetap istiqamah, rajin shalat berjamaah di masjid, tetap shalat malam, menjaga perkataan dan perbuatan serta berhias dengan akhlak yang mulia yang membuat lapang hati manusia. Intinya adalah tetap istiqamah
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang terus-menerus walaupun itu sedikit.”[4]
6. Terkadang gelar “haji & hajjah” berguna juga dan bisa sesekali digunakan saat-saat tertentu semisal ketika akan berdakwah di suatu kampung yang mereka lebih mendengar dan menghormati yang sudah berhaji, maka tidak mengapa disematkan gelar haji saat itu saja.
Semoga Allah selalu mengikhlaskan niat kita dan semoga jamaah haji kaum muslimin selalu berusaha menjaga niat ikhlas mereka. Amin ya mujiibas saa-ilin.
@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] HR. Muslim no. 2965
[2] Jami’ Al-‘ulum wal Hikam, hal. 18
[3] HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya IV:115, no: 2482, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani
[4] HR. Muslim no. 783.
Comments
Post a Comment